Perjalanan panjang uang kertas yang sampai sekarang kita pakai ini penuh dengan kegagalan yang kelam selama tiga abad terakhir, berikut adalah beberapa contoh kegagalan-kegagalan tersebut :
1. Selepas terbunuhnya Louis XIV pada tahun 1715, Perancis secara praktis bangkrut. Lalu muncullah seorang penjudi dari Scotlandia yang juga seorang ekonom amatir bernama John Law, ia mencoba peruntungannya dengan menawarkan ke pihak yang berkuasa saat itu untuk menggunakan uang kertas sebagai alat tukar. Alasannya adalah emas dianggap terlalu langka dan tidak elastik untuk digunakan sebagai uang. John Law juga meyakinkan pihak penguasa, bahwa dengan menggunakan uang kertas inilah Perancis akan bangkit dari krisis yang dideritanya. Usulan ini diterima oleh pihak penguasa dan John Law diijinkan untuk menerapkan teorinya. Maka mulailah John Law dengan ijin penguasa membuat bank sentral yang disebut Banque Royale. Dari Banque Royale inilah John Law mengeluarkan bank note yang berlaku sebagai uang sebesar 2.7 milyar Livres selama 2 tahun. Pada saat yang bersamaan John Law juga membuat perusahaan Missisipi Company yang nilai kapitalisasi pasar seharusnya mengikuti pergerakan uang yang dicetak oleh Banque Royale tersebut. Namun kenyatannya nilai kapitalisasi pasar saham Missisipi Company ini menggelembung mencapai 5 milyar Livres dalam dua tahun tersebut. Tidak bisa tidak ketika terjadi penggelembungan pasar (market bubble) pasti akan meledak dan benar inilah yang terjadi berikutnya – gelembung meledak, pasar collapse. John Law pergi meninggalkan Perancis yang bergelimpangan dengan korban uang kertas John Law dengan idenya yang ternyata tidak berjalan.
2. Contoh kedua adalah yang terjadi di Amerika pada tahun 1775 ketika Congress Amerika kebingungan mencari dana untuk membiayai perang. Maka dicetaklah uang kertas yang disebut Continental. Selama 5 tahun sampai dihentikannya tahun 1780, Congress telah mencetak uang sebesar US$ 241 juta. Uang ini dipakai untuk membayar tentara dan biaya perang lainnya. Namun karena uang kertas ini tidak ada nilainya, maka uang ini akhirnya hanya digunakan untuk kertas penutup tembok (wall paper) di barber shop, untuk pembalut luka dan sampai juga dijadikan baju untuk parade di jalan. Yang tragis adalah mungkin untuk pertama kali dalam sejarah terjadi di dunia, dimana orang yang berhutang mengkejar-kejar pihak yang memberi hutang – karena yang memberi hutang tidak mau dipaksa menerima pengembalian hutang dengan uang yang tidak bernilai sama sekali !.
3. Kegagalan berikutnya juga terjadi di Perancis lagi ketika mereka bangkrut lagi tahun 1789 dan mulai mencetak uang kertas lagi yang diberi nama Assignat, kali ini mereka lebih hati-hati karena masih ingat dengan kegagalan uang kertas John Law puluhan tahun sebelumnya. Maka uang kertas inipun di dukung dengan kolateral berupa tanah gereja yang sangat berharga. Kemudian jumlah uang yang beredarpun dibatasi hanya sampai 400 juta Assignat. Dengan ini mereka mengira uang kertasnya akan bisa jalan, ternyata tidak. Tidak sampai tujuh tahun pada bulan Februari 1796 nasib Assignat berakhir dengan tragis ditandai dengan puncak kekecewaan masyarakat dengan membunuh tokoh penggagasnya setelah sebelumnya membakar percetakan uang bersama dengan uang yang mereka sangat benci – lagi-lagi karena uang kertas yang tidak ada harganya !.
4. Kegagalan uang kertas yang menyolok juga terjadi di Jerman setelah berkahirnya perang Dunia I. Karena sangat tingginya inflasi dan tidak berharganya uang kertas saat itu, gaji pegawai dibayar dalam dua kali sehari disebabkan daya beli uang kertas di pagi hari bisa berbeda dengan daya beli uang yang sama sore hari. Orang-orang ti Jeman yang hidup sekarang masih suka cerita bahwa di zaman kakek nenek mereka, untuk membeli roti orang perlu membawa kereta dorong bukan untuk membawa rotinya tetapi untuk membawa uangnya !
5. Kegagalan uang kertas di Indonesia-pun tidak kalah tragisnya ketika dalam periode lima tahun antara tahun 1960 -1965 inflasi mencapai 650 % dan indeks biaya mencapai angka 438. Index harga beras mencapai 824, tekstil 717, dan harga Rupiah anjlok tinggal 1/75 dari angka Rp 160/US$ menjadi Rp 120,000 /US$. Karena Rupiah yang sudah tidak tertolong lagi ini, pemerintah waktu itu terpaksa harus mengeluarkan kebijakan yang disebut Sanering Rupiah yaitu memotong tiga angka nol terakhir dari Rupiah lama menjadi Rupiah baru. Kebijakan yang dituangkan dalam Penetapan Presiden atau Penpres No 27/1965 itu menjadikan Rp 1,000 (uang lama) = Rp 1,- (uang baru). Isu Sanering Rupiah juga sempat mencuat dipuncak krisis moneter Indonesia 32 tahun kemudian yaitu antara tahun 1997-1998. Meskipun akhirnya Sanering Rupiah tidak dilakukan, seandainya hal itu dilakukan pada tahun tersebut – ini juga bukan hal yang mengejutkan – karena tiga angka nol yang pernah dihilangkan pada tahun 1965 – ternyata balik kembali dalam waktu hanya 32 tahun. Masih kuat diingatan kita ketika kita kecil membawa uang Rp 1,- cukup untuk bekal sekolah, saat ini anak kecil mana yang cukup berbekal Rp 1,000 untuk ke sekolah ?. Sanering Rupiah memang bukanlah kebijakan yang populer untuk menjaga nilai Rupiah, disisi lain membiarkan Rupiah pada angka ribuan atau bahkan puluhan ribu seperti sekarang juga bukan hal yang praktis. Bisa dibayangkan betapa seluruh sistem komputer keuangan Dunia harus mengakomodasi empat digit tambahan karena ada mata uang yang memerlukan empat digit memory lebih banyak dibandingkan dengan mata uang lain di dunia.
Konsep uang kertas yang kita pakai sampai sekarang mirip dengan konsep yang dimulai di Inggris pada tahun 1694 ketika Bank of England mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai bank notes. Awalnya bank notes ini ditulis tangan dan mencantumkan nama pihak yang berhak atas bank notes tersebut. Dalam perkembangannya selama sekitar dua abad bank notes kemudian dicetak tanpa nama dan dengan bebas bisa dipertukarkan dalam transaksi perdagangan. Meskipun awalnya bank notes tersebut di dukung penuh dengan stock emas atau yang dikenal dengan gold standard , dalam perkembangannya karena jarang bank notes tersebut yang benar-benar ditukar dengan emas kembali oleh pemiliknya, maka mulailah pihak yang mengeluarkan bank notes tidak mendukung bank note- nya dengan cadangan emas yang penuh.
Perkembangan sejenis juga terjadi di belahan Eropa lainnya yaitu apa yang kemudian di zaman modern ini disebut fractional reserve banking yang berkembang dari para tukang emas (goldsmiths). Para tukang emas di Eropa tersebut awalnya mengeluarkan tanda terima (receipts) atas penitipan uang emas atau emas, tanda terima ini kemudian dapat diperdagangkan - dan juga karena jarang ditukar kembali dengan uang emas - maka para tukang emas tersebut mulai mengeluarkan tanda terima yang melebihi titipan atau stock uang emasnya. Dari para tukang emas inilah lahir bank pertama di Eropa yang memiliki cadangan emas hanya sebagian dari nilai yang tertulis dalam tanda terima atau receipts yang merekan dikeluarkan. Persentase cadangan ini disebut reserve ratio. Ketika bank-bank tersebut beroperasi dengan reserve ratio yang kurang dari 100% maka bank-bank tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan operasi semacam ini menjadi sangat popular. Uang kertas yang kita kenal sampai sekarang tumbuh dan berkembang dari praktek fractional reserve banking ini, dan praktek demikian juga terus dilakukan oleh sistem perbankan modern di Indonesia dan negara-negara lain sampai sekarang – hanya sekarang cadangan tersebut pada umumnya tidak lagi berupa emas.
Dari perjalanan uang kertas kita dapat melihat bahwa sejak abad 18, abad 19 dan awal abad ke 20 Negara-negara Eropa dan Amerika mengalami kebingungan mengenai sistem mata uangnya yang penuh dengan catatan kegagalan. Mereka bolak-balik antara uang fiat murni atau fractional reserve dan gold standard. Apabila kekayaan atau cadangan emas mereka berkurang karena perang misalnya mereka gunakan uang fiat atau fractional reserve, kemudian kembali lagi ke gold standard pada saat uang fiat atau fractional reserve sudah berlebihan sehingga terjadi hiper inflasi. Kita bisa lihat misalnya pada Perang Dunia I, Negara-negara yang terlibat perang menghabiskan cadangan emasnya untuk membeli persenjataan dan membiayai perang, kemudian beberapa tahun selepas Perang Dunia I Jerman kembali ke gold standard pada tahun 1924, yang kemudian diikuti Inggris tahun 1925 dan Perancis 1926. Namun gold standard ini tidak bertahan lama karena godaan ekonomi membuat dunia perbankan mulai tergoda lagi untuk mengeluarkan uang lebih dari cadangan emas yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan krisis berikutnya dan mencapai puncak krisis yang disebut great depression selama beberapa tahun di awal tahun 1930-an. Begitu buruknya ekonomi saat itu sehingga pada tahun 1934 Amerika Serikat yang saat itu seharusnya menjadi kekuatan ekonomi terkuat didunia, melakukan devaluasi mata uangnya sebesar 75 % terhadap emas dari US$ 20 per troy ounce emas menjadi US$ 35 per troy ounce.
Kekacauan mata uang terus berlanjut bersamaan dengan terjadinya Perang Dunia ke II. Pada pertengahan tahun 1944 ketika Amerika merasa telah memenangi sebagian besar Perang Dunia II, mereka memprakarsai konferensi Bretton Woods. Bisa diduga hasil kesepakatan Bretton Woods ini tentu sangat menguntungkan Amerika Serikat yang menggagasnya.
Inti kesepakatan Bretton Woods awalnya adalah janji Amerika Serikat untuk mendukung uang Dollar-nya secara penuh dengan emas yang nilainya setara. Kesetaraan ini mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1 troy ons emas. Negara-negara lain yang mengikuti kesepakatan tersebut awalnya diijinkan untuk menyetarakan uangnya terhadap emas ataupun terhadap Dollar. Dengan kesepakatan ini seharusnya siapapun yang memegang Dollar dengan mudah menukarnya dengan emas yang setara .
Namun kesepakatan Bretton Woods yang digagas oleh Amerika ternyata juga diingkari sendiri oleh Amerika. Secara perlahan tetapi pasti mereka ternyata mengeluarkan uang yang melebihi kemampuan cadangan emasnya, bahkan secara sepihak mereka tidak lagi mengijinkan mata uang lain disetarakan terhadap emas atau harus dengan Dollar. Pemegang Dollar juga tidak bisa serta merta menukarnya dengan emas yang setara, tentu hal ini karena Amerika Serikat memang tidak memiliki jumlah cadangan emas yang seharusnya dimiliki setara dengan jumlah uang yang dikeluarkan – saat itu Amerika hanya memiliki 22% dari jumlah cadangan emas yang harusnya mereka miliki ! . Ketidakadilan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu dari Generale De Gaulle dari Perancis. Pada tahun 1968 Degaulle menyebut kesewenang-wenangan Amerika sebagai mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege).
Tekanan dan ketidak percayaan terus berlanjut dan Negara-negara sekutu Amerika Serikat terus menukar Dollarnya dengan emas. Praktis saat itu hanya Jerman yang tetap mendukung Dollar dan tidak menukar dollarnya dengan emas.
Awal kehancuran Dollar Amerika terjadi pada tahun 1971 ketika secara sepihak Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi mengaitkan Dollar-nya dengan cadangan emas yang mereka miliki – karena memang mereka tidak mampu lagi !. Kejadian yang disebut Nixon Shock tanggal 15 Agustus 1971 ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu sebenarnya Dollar Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang. Berdasarkan kesepakatan Bretton Woods seharusnya US$ 35 setara dengan 1 troy ons emas, akhir tahun 2006 atau 35 tahun kemudian perlu US$ 633 untuk mendapatkan 1 troy ons emas. Artinya Dollar Amerika saat buku ini ditulis hanya bernilai 5.5 % dari nilai yang seharusnya apabila Amerika Serikat memenuhi janjinya dalam kesepakatan Bretton Woods. Karena Negara-negara lain termasuk Indonesia menjadikan Dollar sebagai referensi untuk menilai keberhasialan ekonominya seperti mengukur pendapatan per kapita, cadangan devisa dan mengukur nilai tukar uang Rupiahnya – maka tanpa disadari seluruh sistem mata uang kertas sebenarnya telah ikut collapse bersama dengan collapse-nya nilai Dollar tersebut. Dengan kegagalan Bretton Woods tersebut seharusnya badan-badan pelaksana konsep ini yaitu IMF dan Bank Dunia juga harus ditutup karena mereka telah gagal menjalankan fungsinya.
Ironisnya bukan ini yang terjadi, kurang lebih empat bulan setelah terang-terangan Amerika mengingkari janjinya di Bretton Woods, tepatnya tanggal 18 Desember 1971 mereka melahirkan apa yang disebut Smithsonian Agreement. Perjanjian yang diteken di Smitsonian Institute bersama negara negara industri yang disebut G 10 ini lah yang menandai berakhirnya era fixed exchange rate dengan back up emas menjadi rejim floating exchange rate yang diikuti oleh seluruh negara anggota IMF termasuk Indonesia sampai sekarang.
Sejak tahun 1971 tersebut praktis seluruh otoritas moneter dunia menggunakan kembali uang fiat murni yaitu uang yang tidak didukung oleh adanya cadangan emas. Uang fiat (dari bahasa latin yang artinya let it be done !) adalah uang yang dibuat dari barang yang tidak senilai dengan uang tersebut, bisa berupa kertas, catatan pembukuan semata (accounting entry) di bank, atau bahkan hanya bit binari dalam memori computer. Karena asalnya tidak bernilai, kemudian dipaksakan harus diakui nilainya – maka uang fiat ini nilai dan keabsahannya ditentukan oleh pihak yang berwenang dalam suatu negara – oleh karenanya juga menjadi pembayaran yang syah (legal tender) dalam perdagangan, pembayaran hutang dlsb.
Krisis di Amerika yang melahirkan Nixon Shock tahun 1971 ternyata juga langsung berdampak ke ekonomi Indonesia. Indonesia menjadi target Amerika Serikat untuk melanggengkan kekuasaan di Asia Tenggara sekaligus mengeruk keuntungan ekonomi dari Negara-negara di kawasan ini – dan lagi untuk menutupi krisis ekonomi di dalam negeri Amerika sendiri sebagai dampak dari perang Vietnam yang tidak menentu hasilnya. Hal ini dapat disimak dari pengakuan seorang Economic Hit Man John Perkins yang kemudian memutuskan untuk menulis buku Confession of an Economic Hit Man . Dibuku tersebut John Perkins mengakui misinya di Indonesia sbb:
“Washington mendasari bagian dari strateginya pada asumsi bahwa keuntungan yang diperoleh di Indonesia mungkin mempunyai reaksi positif bagi seluruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang mudah meledak. Dan jika itu bukan perangsang yang cukup, Indonesia memiliki minyak.”