18 December, 2007

17 December, 2007

10 December, 2007

Emas dan Perak Adalah Mata Uang Yang Fitrah

Ternyata emas dan perak juga sudah terbukti merupakan mata uang yang fitrah bagi seluruh umat sepanjang zaman. Kita bisa lihat buktinya dalam sejarah lebih dari dua ribu tahun terkahir ini.

Julius Caesar menentukan uang emas yang nilainya 12 kali uang perak sejak setengah abad sebelum masehi dan ketentuan ini terus dipakai di Eropa selama 13 abad. Islam menggunakan uang emas Dinar dan uang perak Dirham sejak awal perkembangannya di awal abad ke 7 masehi dan terus menggunakannya secara konsisten selama 14 abad kemudian, dan baru berakhir bersamaan dengan keruntuhan Kekahlifahan Usmaniah tahun 1924.

Beberapa abad terakhir berbagai percobaan dilakukan oleh berbagai negara di dunia untuk menggunakan uang selain dari Emas dan Perak. Yang paling sering dicoba digunakan adalah kertas karena bahan ini yang mudah diperoleh dengan mudah dan murah. Namun setiap kali terjadi kegagalan percobaan penggunaan uang kertas, orang selalu balik ke emas dan perak sebagai solusinya.

Sampai di abad 21 ini pun solusi kembali ke emas dan perak sebagai mata uang mulai menguat. Kita lihat misalnya di masyarakat Amerika Serikat yang selama ini begitu percaya dirinya sebagai kekuatan ekonomi yang adiperkasa di dunia, ternyata pemikir-pemikir mereka yang objektif dan kritis mulai mencari solusi lain selain Dollar dan dari hasil kajian mereka yang sungguh-sungguh solusi mereka selalu kembali ke emas dan perak. Diantara tokoh-tokoh mereka ini mulai menyebarluaskan pemikirannya secara terbuka dan mulai mengajak masyarakatnya untuk tidak lagi mempercayai Dollar dan mulai menggunakan uang emas dan perak. Yang menonjol diantara aktifitas ini adalah pendirian GATA (Gold Anti Trust Action Committee) pada tahun 1999 . Diantara aktifis GATA bahkan dengan caranya sendiri yang jenaka telah membuatkan ‘Draft Pidato’ untuk dibaca oleh Presiden Amerika Serikat pada malam pembubaran Dollar. ‘Draft Pidato’ ini dapat dilihat di salah satus situs internet mereka dan sebagian besar kami terjemahkan dan kami taruh di Appendix buku ini. Aktifis lain mendirikan apa yang mereka sebut dengan FAME (Foundation of Advance Monetary Education) yang misinya adalah untuk menyadarkan masyarakat akan ‘Bahaya Dari Uang Fiat yang Menipu’ dan ‘Timbangan dan Ukuran Moneter Yang Adil – Yang Berarti Emas Sebagai Uang Solusinya’ .

Di benua lain di Eropa, pada tahun 2003 seorang Doktor (waktu itu masih kandidat Doktor) dibidang ekonomi dan akuntansi yaitu DR Herald Hass berusaha mencari solusi atas kekacauan moneter yang terjadi di dunia dewasa ini. Untuk pencarian yang dituangkan dalam disertasi Doktor-nya tersebut, ia dibimbing oleh empat orang Professor yang sangat memahami ilmunya. Namun apa hasilnya ?, setelah melakuan riset dengan berbagai literatur dari berbagai abad, salah satu rekomendasi yang dia hasilkan untuk kebijakan keuangan berbunyi “bahkan langkah lebih jauh yang secara teoritis bisa dilakukan adalah mengambil sistem keuangan menyerupai apa yang disebut ‘Islamic Finance’ atau ‘Islamic Banking’, yaitu suatu sistem yang melarang perbankan mengenakan bunga atas pinjaman dalam mata uang yang bersifat monopoli”.

Pada kesimpulannya yang lain, DR. Hass juga menyatakan, ” Perbaikan besar akan terjadi bila – secara sengaja atau tidak sengaja/kebetulan uang-uang fiat besar hancur (collapse)- maka bisa diperkenalkan kembali konsep gold standard. Hal ini akan mengatasi kelemahan mendasar dari praktek yang dilakukan dalam sistem fractional reserve banking dengan menghilangkan sama sekali uang fiat (uang kertas yang kita pakai selama ini). Secara historis peluang kembali ke gold standard akan sangat besar. Di dunia e-commerce dewasa ini, uang elektronik dapat dengan mudah didukung dengan emas secara fisik.”

DR. Hass, para aktifis GATA dan aktifis FAME setahu kami saat ini mereka belumlah menjadi orang-orang Islam. Namun ketika mereka benar-benar jujur dan sungguh-sungguh mencari solusi atas kekacauan keuangan yang dihadapi di negara masing-masing, mereka keluar dengan solusi yang sama yaitu solusi yang fitrah untuk mata uang berupa emas dan perak. Hal ini mirip dengan do’a yang sungguh-sungguh dari siapapun, ketika di puncak ketakutan – mereka semua akan mencari Tuhan dan memohon pertolongan kepada Tuhannya – sekalipun mereka sebelumnya tidak mengakui adanya Tuhan. Kembalinya para pakar dan praktisi finansial ke solusi yang fitrah berupa emas dan perak, adalah sama dengan kembalinya orang-orang yang berdo’a kepada tuhannya dalam kondisi yang sungguh-sungguh dan sangat pasrah di puncak ketakutan seperti di sebutkan dalam ayat berikut :

Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.

Jadi ketika para pakar moneter dan pelaku bisnis keuangan yang jujur dan sungguh-sungguh mencari solusi, mereka sepakat bahwa emas dan perak sebagai uang adalah jawabannya, maka sudah seharusnyalah umat Islam menjadi yang terdepan dalam memberikan solusi uang emas dan perak ini. Hal ini pertama karena memang umat Islam secara konsisten telah menggunakan uang emas dan perak dalam bentuk Dinar dan Dirham selama 14 abad sejak awal Islam berkembang sampai berakhirnya masa Kekhalifahan Usmaniah tahun 1924. Kedua karena sistem standarisasi berat Dinar dan Dirham yang ditentukan sejak zaman Rasulullah SAW dan dicetak di dunia Islam (Dirham) pertama kali pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab adalah yang paling siap untuk digunakan. Ketiga adalah karena emas dan perak memang menjadi bagian dari ajaran agama ini, bahkan juga terkait dengan ibadah khusus seperti untuk dasar perhitungan zakat, pembayaran diyat dan hukum pidana potong tangan.

Kerusakan Yang Telah Ditimbulkan oleh Sistem Moneter Saat Ini

Awalnya pihak yang berwenang (umumnya bank sentral) mencetak uang fiat tanpa didasari oleh adanya cadangan emas yang seharusnya, kemudian uang ini digandakan oleh dunia perbankan melalui konsep fractional reserve banking melalui proses yang disebut penciptaan uang atau money creation. Melalui proses ini bank komersial hanya diwajibkan memiliki sejumlah cadangan tertentu – misalnya di Indonesia yang disebut Giro Wajib Minimum 5 % dari dana pihak ketiga yang dikelola oleh bank yang bersangkutan. Jadi misalnya Bank A yang menerima dana masyarakat sebesar Rp 20 milyar hanya wajib memiliki cadangan Rp 1 Milyar, sisanya sebesar Rp 19 Milyar dapat dipinjamkan ke pihak lain. Neraca T untuk transaksi tersebut akan terlihat sebagai berikut :

Neraca T Bank A
Cadangan Rp 1,000,000,000 Deposit Rp 20,000,000,000
Pinjaman Rp 19,000,000,000

Kemudian dari deposito tersebut tentu bank akan memberikan bunga, misalnya 8 %. Dan Bank juga menarik bunga dengan tingkat yang lebih tingi ke debiturnya – karena dari sinilah bank hidup – misalnya bunga pinjaman tersebut 12 %. Maka setelah ditambahkan bunganya, Deposito menjadi Rp 21.6 Milyar, angka pinjaman menjadi Rp 21.28 Milyar dan Neraca T menjadi sebagai berikut :

Neraca T Bank A
Cadangan Rp 1,000,000,000 Deposit Rp 21,600,000,000
Pinjaman Rp 21,280,000,000 Keuntungan Rp 680,000,000

Dari neraca tersebut terlihat bahwa cadangan yang hanya Rp 1 Milyar tidak lagi cukup untuk menjadi cadangan wajib dari deposit yang Rp 21.6 milyar, maka pihak bank akan terus mengejar keseimbangan (yang sebenarnya tidak pernah tercapai) tersebut dengan penambahan uang fiat, penambahan cadangan dan terus mengucurkan kredit. Implikasi dari adanya bunga akan membuat perbankan akan secara terus menerus menambah jumlah uang beredar, baik uang fiat maupun uang bank (uang giral) . Pihak ketiga yang mendapatkan pinjaman sebesar Rp 19 Milyar (atau Rp Rp 21.28 Milyar bila termasuk bunga) bisa saja bukan merupakan sektor riil yang akan menggunakan uang pinjamannya untuk kegiatan produksi, pihak ketiga ini bisa berupa Bank lain sebut saja misalnya Bank B. Bank B yang mendapatkan pinjaman sebesar Rp 21.28 Milyar (termasuk bunga), akan mencatatnya sebagai deposit baru Rp 21.28 Milyar, mencadangkan 5 %nya atau Rp 1.09 Milyar dan meminjamkan lagi sisanya yang Rp 20.19 Milyar (plus bunga 14% misalnya menjadi Rp 24.17 Milyar) ke pihak lain – yang cilakanya bisa juga berupa bank lagi. Proses ini terus demikian berputar diantara sejumlah bank sampai tidak ada yang bisa dipinjamkan lagi.

Untuk setiap cadangan baru yang didepositokan di bank, sistem perbankan secara keseluruhan dan secara bersama-sama (tidak bisa dilakukan oleh satu bank saja) akan menciptakan berlipat-lipat uang bank (di Indonesia secara teoritis bisa sampai 20 kali lipat karena cadangan wajib hanya 5%). Ilustrasi kebrikut akan memudahkan kita memahami penggelembungan jumlah uang melalui proses money creation tersebut .

Apabila pinjaman disalurkan ke sektor riil yang meningkatkan produksi dan menciptakan lapangan kerja, maka hal ini akan bermanfaat bagi masyarakat karena produksi naik bersamaan juga daya beli masyarakat naik, artinya ada yang menyerap produksi tambahan atau dengan kata lain kenaikan kebutuhan diimbangi dengan kenaikan produksi barang sehingga tidak terjadi kenaikan harga-harga.

Namun kenyataannya yang terjadi di pasar, tidak selalu demikian. Kredit tidak selalu mengalir ke sektor riil, kredit bisa atau bahkan mayoritas lari ke sektor yang tidak produktif seperti properti dan juga kembali ke sektor keuangan (pasar uang atau pasar modal) – sehingga dampaknya tidak meningkatkan produksi atau produksi yang ditimbulkan tidak sepadan dengan kenaikan jumlah uang. Ketika jumlah uang terus naik namun produksi tidak naik, maka akan terjadi kenaikan harga-harga atau inflasi yang menyengsarakan rakyat.

Dipinjamkan ke sector riil-pun apabila sector tersebut tidak langsung berhubungan dengan produksi kebutuhan mayoritas masyarakat, maka kenaikan jumlah uang bank tersebut juga tidak berguna bagi masyarakat – malah akan menjadi beban masyarakat. Ambil contoh misalnya uang bank untuk menguasai tanah yang luas untuk lapangan golf dan property lain berupa rumah-rumah mewah di sekitar lapangan golf tersebut yang tidak pernah ditinggali secara permanen oleh pemiliknya.

Apabila uang bank tersebut mengalir ke sector yang tidak produktif seperti pada investasi property tersebut diatas, maka harga property akan naik terus menerus melebihi harga yang wajar untuk properti tersebut. Demikian juga apabila uang bank dipakai untuk bermain di pasar saham, maka harga saham juga demikian, akan naik terus tanpa didukung oleh pertumbuhan produksi sektor riil. Cepat atau lambat para pelaku pasar akan segera menyadari kekeliruannya berinvestasi di property atau saham tersebut dengan harga-harga yang terlalu mahal dan menggunakan uang pinjaman, ketika mereka sadar – rata-rata sudah terlambat – maka terjadilah krisis ekonomi seperti yang kita alami tahun 1997-1998.

Ketika krisis terjadi, harga saham dan properti hancur, bank-bank menyita asset para debitur tetapi tidak laku lagi dijual. Banyak perusahaan bangkrut, lapangan pekerjaan menghilang dan kemiskinan terus membubung. Ketika kemiskinan merajalelala dan angka pengangguran begitu tinggi, sungguh tidak mudah bagi siapapun. Pada saat buku ini ditulis, akhir 2006 – atau 9 tahun sejak krisis bermula - belum nampak benar ekonomi di negeri ini pulih. Bahkan yang terjadi sebaliknya, jumlah penduduk miskin mencapai 39.5 juta dan pengangguran mencapai 11 % . Dilain pihak para pemain saham berpesta pora kembali dengan harga-harga saham yang kembali membubung tinggi yang ditandai dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) melampui titik tertingginya dalam sejarah yaitu mencapai angka 1,805 .

Kita tahu dari krisis sebelumnya bahwa harga-harga saham yang tinggi yang tidak didukung oleh pertumbuhan sektor riil bisa menjadi awal dari krisis berikutnya. Lantas apakah kita akan mengalami krisis berikutnya sementara akibat dari krisis 9 tahun lalu belum pulih benar ?, hanya Allah yang tahu jawabannya.

Lebih buruk dari krisis ekonomi adalah krisis keadilan ekonomi seperti yang kita rasakan sekarang. Betapa sumber-sumber ekonomi seperti tanah yang luas di dalam dan seputar kota besar seperti Jakarta, pusat-pusat perdagangan dan industri-industri bahan pokok semua dikuasai oleh segelintir orang dengan menggunakan uang bank atau uang giral, uang yang diciptakan oleh perbankan dari awang-awang seperti diilustrasikan di Gambar I.1. Masyarakat luas yang tidak memiliki akses terhadap kapital atau uang bank ini makin lama makin termarginalkan.

Kita sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki pengalaman yang begitu pahit, bahwa karena kita tidak menggunakan mata uang yang benar-benar memiliki nilai intrinsik seperti Dinar dan Dirham, mata uang kita begitu mudah hancur atau dihancurkan. Dampak kehancuran mata uang ini tidak berhenti disini, yang paling menyedihkan adalah kita benar-benar bisa kehilangan kedaulatan atas negeri ini – minimal kedaulatan ekonomi. Masih segar di ingatan kita, bagaimana pada tanggal 15 Januari 1998, Presiden Republik ini harus mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Di butir-butir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998 . Berikut adalah sebagian kecil dari butir-butir kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund) yang menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita :

1. Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud, maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih berdaulat mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing ?. Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat ?. Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota, lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar – siapa yang mengendalikan uang di negeri ini ?. Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut :

a. Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
b. Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar.
c. Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
d. Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, export import emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.

Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya mendambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.

2. Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
3. IMF pula yang mendorong merger empat bank pemerintah menjadi satu dan mendorong satu lagi bank pemerintah untuk go publik. Apa manfaatnya bagi IMF langkah ini, tentu kawan-kawan yang bergerak di dunia perbankan lebih tahu.
4. Pemerintah Indonesia harus secara bertahap menurunkan tariff pajak untuk produk pertanian non-pangan dari luar sampai akhirnya tercapai maksimum pajak 10 %. Ini tentu akan membuat produk pertanian non-pangan asing menjadi sangat kompetitif di pasar ini dan dapat menyingkirkan produk local sejenis.
5. Pemerintah harus menurunkan tariff bahan kimia, baja, metal dan alat-alat perikanan sampai dikisaran 5%-10%. Mirip dengan no 4, produsen lokal pelan-pelan bisa tersingkir oleh pemain asing.
6. Pemerintah harus menurunkan pajak export untuk kayu gelondongan, kayu gergajian, rotan dan mineral maximum pada angka 30%. Dampak dari hal ini adalah berpindahnya proses yang memberi nilai tambah dari dalam negeri ke luar negeri. Indonesia dikeruk hasil hutan dan mineralnya dengan nilai tambah yang minimal, nilai tambah yang lebih besar dinikmati oleh para pemain asing.
7. Pemerintah harus mencabut larangan export minyak sawit dan boleh menggantinya dengan pajak export maximum 40 %. Minyak goreng yang sangat dibutuhkan oleh penduduk negeri ini, yang waktu itu sempat langka – justru harus di export lagi-lagi untuk kepentingan pihak asing – dimana lagi mereka bisa memperoleh minyak sawit yang masih murah ?.
8. Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.

Hal-hal tersebut diatas, baru 8 dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing (yang oleh John Perkins disebut sebgai korporatokrasi ) yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.

Penjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut petikannya :
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.
VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

Jadi kehilangan kedaulatan dibidang ekonomi yang kita alami sekarang sebenarnya hanya pengulangan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia empat abad silam, secara visual kehilangan kedaulatan ini seolah tercermin dari foto yang menghiasi halaman media masa setelah kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia didepan petinggi IMF saat itu - Michel Camdessus.


Mirip juga dengan VOC yang menjajah Indonesia 400 tahun yang lalu, penjajahan ekonomi ala IMF juga dapat menjadi penyebab (atau paling tidak ikut mendorong) kejatuhan sebuah pemerintahan di negara yang seharusnya berdaulat seperti Indonesia. Berikut fakta yang terkait dengan uang Rupiah, Keterlibatan IMF dan kejatuhan Presiden Republik Indonesia tahun 1998 menurut versi Steve H. Hanke – profesor ekonomi terapan dari John Hopkin University, beliau ini adalah ekonom yang pernah diundang Presiden R.I untuk memberi solusi alternatif selain solusi IMF yang waktu itu sebenarnya sudah diragukan :

• Akhir Januari 1998 Presiden Republik Indonesia meragukan kemanjuran obat yang ditawarkan IMF untuk menyembuhkan rupiah yang hancur, oleh karenanya dicari solusi diluar IMF yang kemudian terkenal dengan istilah Currency Board yaitu membuat Rupiah memiliki kurs tetap terhadap Dollar Amerika pada nilai tertentu. Solusi alternatif ini ternyata membuat IMF dan pemerintah Amerika Serikat sangat marah. Bill Clinton dan Michel Camdessus (direktur IMF waktu itu) mengancam Indonesia mau memilih solusi Currency Board atau bantuan pinjaman US$ 43 milyar untuk menyelesaikan krisis yang sedang dialami.
• Serangan terhadap Currency Board bertubi-tubi, bukan hanya dari Amerika Serikat dan IMF, namun juga dari para ekonom Indonesia sendiri. Dukungan terhadap solusi Currency Board yang sebenarnya juga ada, malah dukungan ini datang dari para ekonom pemenang hadiah Nobel dibidang ekonomi seperti Gary Becker , Milton Friedman , Merton Miller dan Robert Mundell . Namun dukungan ini kalah publikasi dengan yang menentangnya. Maka akhirnya ide Currency Board ditinggalkan.
• Ketika ide alternatif berupa Currency Board ditinggalkan, toh akhirnya solusi IMF terbukti tidak juga manjur menyembuhkan krisis moneter Indonesia. Bersamaan dengan terus memburuknya Rupiah ini jatuhlah pemerintahan Indonesia waktu itu.
• Kesengajaan IMF dan pemerintah Amerika untuk menggunakan kehancuran rupiah untuk alasan politis waktu itu terungkap dari komentar Perdana Menteri Australia Paul Keating, ”Treasury Amerika Serikat telah sungguh dengan sengaja menggunakan kehancuran ekonomi untuk mengeluarkan Presiden Suharto”.
• Pengakuan juga datang dari Lawrence Eagleberger yang waktu itu menjabat sebagai US Secretary of State, ”Kita telah dengan sangat cerdik mendukung IMF untuk mengusir Suharto”.
• Bahkan peran politik IMF ini akhirnya diakui sendiri oleh Michel Camdessus pada saat menjelang pensiunnya, ”Kita telah menciptakan kondisi yang memaksa Presiden Suharto meninggalkan pekerjaannya”.

Karena buku ini bukan buku politik, maka kita tidak membahas kebenaran sejarah versi salah satu pelaku tersebut, kami juga tidak memihak apakah Presiden Republik Indonesia harus jatuh saat itu atau tidak. Yang ingin kami tekankan disini adalah kita bisa simpulkan bahwa uang fiat yang seharusnya netral telah terbukti dapat dipermainkan untuk kepentingan politik dengan mengorbankan kepentingan seluruh warga negara Indonesia yang mayoritasnya adalah umat Islam. Kesimpulan kedua adalah bahkan solusi yang secara ilmiah didukung oleh empat orang pemenang hadiah nobel dibidangnya sekalipun, bisa kalah oleh publikasi negatif yang digerakkan oleh kepentingan politik global. Dari sini kita bisa tahu betapa besar tantangan yang kita hadapi untuk meluruskan ekonomi umat ini agar tidak dijajah secara ekonomi terus menerus oleh kepentingan bangsa lain.

Dari tataran usaha manusia, kita tahu bahwa krisis yang pernah terjadi antara lain diawali dari uang fiat yang bisa dicetak terus menerus, yang kemudian ditumbuhkan jumlahnya oleh sistem fractional reserve banking, kemudian didorong terus menerus dengan bunga perbankan yang sudah jelas riba-nya berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia. Setelah kita tahu bahwa sistem inilah yang menyebabkan krisis yang sulit disembuhkan bahkan ada gejala kekambuhan krisis berikutnya, maka apakah tidak terfikir oleh kita untuk mencari solusi ?. Usia kita mungkin tidak panjang untuk mencari solusi yang sifatnya coba-coba atau trial and error, solusi yang akan kita bangun kali ini harus memiliki tingkat kepastian yang tinggi akan keberhasilannya. Lantas apa ada solusi yang demikian pasti hasilnya ?. Tentu ada kalau kita benar-benar beriman. Karena ini janji Allah terhadap umat akhir zaman, dengan tuntunan akhir zaman, maka apa yang dijanjikan Allah pasti benarnya dan pasti ada solusi untuk seluruh masalah manusia sampai akhir zaman – termasuk solusi atas masalah perekonomian bangsa ini.

Perjalanan Uang Kertas

Perjalanan panjang uang kertas yang sampai sekarang kita pakai ini penuh dengan kegagalan yang kelam selama tiga abad terakhir, berikut adalah beberapa contoh kegagalan-kegagalan tersebut :

1. Selepas terbunuhnya Louis XIV pada tahun 1715, Perancis secara praktis bangkrut. Lalu muncullah seorang penjudi dari Scotlandia yang juga seorang ekonom amatir bernama John Law, ia mencoba peruntungannya dengan menawarkan ke pihak yang berkuasa saat itu untuk menggunakan uang kertas sebagai alat tukar. Alasannya adalah emas dianggap terlalu langka dan tidak elastik untuk digunakan sebagai uang. John Law juga meyakinkan pihak penguasa, bahwa dengan menggunakan uang kertas inilah Perancis akan bangkit dari krisis yang dideritanya. Usulan ini diterima oleh pihak penguasa dan John Law diijinkan untuk menerapkan teorinya. Maka mulailah John Law dengan ijin penguasa membuat bank sentral yang disebut Banque Royale. Dari Banque Royale inilah John Law mengeluarkan bank note yang berlaku sebagai uang sebesar 2.7 milyar Livres selama 2 tahun. Pada saat yang bersamaan John Law juga membuat perusahaan Missisipi Company yang nilai kapitalisasi pasar seharusnya mengikuti pergerakan uang yang dicetak oleh Banque Royale tersebut. Namun kenyatannya nilai kapitalisasi pasar saham Missisipi Company ini menggelembung mencapai 5 milyar Livres dalam dua tahun tersebut. Tidak bisa tidak ketika terjadi penggelembungan pasar (market bubble) pasti akan meledak dan benar inilah yang terjadi berikutnya – gelembung meledak, pasar collapse. John Law pergi meninggalkan Perancis yang bergelimpangan dengan korban uang kertas John Law dengan idenya yang ternyata tidak berjalan.
2. Contoh kedua adalah yang terjadi di Amerika pada tahun 1775 ketika Congress Amerika kebingungan mencari dana untuk membiayai perang. Maka dicetaklah uang kertas yang disebut Continental. Selama 5 tahun sampai dihentikannya tahun 1780, Congress telah mencetak uang sebesar US$ 241 juta. Uang ini dipakai untuk membayar tentara dan biaya perang lainnya. Namun karena uang kertas ini tidak ada nilainya, maka uang ini akhirnya hanya digunakan untuk kertas penutup tembok (wall paper) di barber shop, untuk pembalut luka dan sampai juga dijadikan baju untuk parade di jalan. Yang tragis adalah mungkin untuk pertama kali dalam sejarah terjadi di dunia, dimana orang yang berhutang mengkejar-kejar pihak yang memberi hutang – karena yang memberi hutang tidak mau dipaksa menerima pengembalian hutang dengan uang yang tidak bernilai sama sekali !.
3. Kegagalan berikutnya juga terjadi di Perancis lagi ketika mereka bangkrut lagi tahun 1789 dan mulai mencetak uang kertas lagi yang diberi nama Assignat, kali ini mereka lebih hati-hati karena masih ingat dengan kegagalan uang kertas John Law puluhan tahun sebelumnya. Maka uang kertas inipun di dukung dengan kolateral berupa tanah gereja yang sangat berharga. Kemudian jumlah uang yang beredarpun dibatasi hanya sampai 400 juta Assignat. Dengan ini mereka mengira uang kertasnya akan bisa jalan, ternyata tidak. Tidak sampai tujuh tahun pada bulan Februari 1796 nasib Assignat berakhir dengan tragis ditandai dengan puncak kekecewaan masyarakat dengan membunuh tokoh penggagasnya setelah sebelumnya membakar percetakan uang bersama dengan uang yang mereka sangat benci – lagi-lagi karena uang kertas yang tidak ada harganya !.
4. Kegagalan uang kertas yang menyolok juga terjadi di Jerman setelah berkahirnya perang Dunia I. Karena sangat tingginya inflasi dan tidak berharganya uang kertas saat itu, gaji pegawai dibayar dalam dua kali sehari disebabkan daya beli uang kertas di pagi hari bisa berbeda dengan daya beli uang yang sama sore hari. Orang-orang ti Jeman yang hidup sekarang masih suka cerita bahwa di zaman kakek nenek mereka, untuk membeli roti orang perlu membawa kereta dorong bukan untuk membawa rotinya tetapi untuk membawa uangnya !
5. Kegagalan uang kertas di Indonesia-pun tidak kalah tragisnya ketika dalam periode lima tahun antara tahun 1960 -1965 inflasi mencapai 650 % dan indeks biaya mencapai angka 438. Index harga beras mencapai 824, tekstil 717, dan harga Rupiah anjlok tinggal 1/75 dari angka Rp 160/US$ menjadi Rp 120,000 /US$. Karena Rupiah yang sudah tidak tertolong lagi ini, pemerintah waktu itu terpaksa harus mengeluarkan kebijakan yang disebut Sanering Rupiah yaitu memotong tiga angka nol terakhir dari Rupiah lama menjadi Rupiah baru. Kebijakan yang dituangkan dalam Penetapan Presiden atau Penpres No 27/1965 itu menjadikan Rp 1,000 (uang lama) = Rp 1,- (uang baru). Isu Sanering Rupiah juga sempat mencuat dipuncak krisis moneter Indonesia 32 tahun kemudian yaitu antara tahun 1997-1998. Meskipun akhirnya Sanering Rupiah tidak dilakukan, seandainya hal itu dilakukan pada tahun tersebut – ini juga bukan hal yang mengejutkan – karena tiga angka nol yang pernah dihilangkan pada tahun 1965 – ternyata balik kembali dalam waktu hanya 32 tahun. Masih kuat diingatan kita ketika kita kecil membawa uang Rp 1,- cukup untuk bekal sekolah, saat ini anak kecil mana yang cukup berbekal Rp 1,000 untuk ke sekolah ?. Sanering Rupiah memang bukanlah kebijakan yang populer untuk menjaga nilai Rupiah, disisi lain membiarkan Rupiah pada angka ribuan atau bahkan puluhan ribu seperti sekarang juga bukan hal yang praktis. Bisa dibayangkan betapa seluruh sistem komputer keuangan Dunia harus mengakomodasi empat digit tambahan karena ada mata uang yang memerlukan empat digit memory lebih banyak dibandingkan dengan mata uang lain di dunia.


Konsep uang kertas yang kita pakai sampai sekarang mirip dengan konsep yang dimulai di Inggris pada tahun 1694 ketika Bank of England mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai bank notes. Awalnya bank notes ini ditulis tangan dan mencantumkan nama pihak yang berhak atas bank notes tersebut. Dalam perkembangannya selama sekitar dua abad bank notes kemudian dicetak tanpa nama dan dengan bebas bisa dipertukarkan dalam transaksi perdagangan. Meskipun awalnya bank notes tersebut di dukung penuh dengan stock emas atau yang dikenal dengan gold standard , dalam perkembangannya karena jarang bank notes tersebut yang benar-benar ditukar dengan emas kembali oleh pemiliknya, maka mulailah pihak yang mengeluarkan bank notes tidak mendukung bank note- nya dengan cadangan emas yang penuh.

Perkembangan sejenis juga terjadi di belahan Eropa lainnya yaitu apa yang kemudian di zaman modern ini disebut fractional reserve banking yang berkembang dari para tukang emas (goldsmiths). Para tukang emas di Eropa tersebut awalnya mengeluarkan tanda terima (receipts) atas penitipan uang emas atau emas, tanda terima ini kemudian dapat diperdagangkan - dan juga karena jarang ditukar kembali dengan uang emas - maka para tukang emas tersebut mulai mengeluarkan tanda terima yang melebihi titipan atau stock uang emasnya. Dari para tukang emas inilah lahir bank pertama di Eropa yang memiliki cadangan emas hanya sebagian dari nilai yang tertulis dalam tanda terima atau receipts yang merekan dikeluarkan. Persentase cadangan ini disebut reserve ratio. Ketika bank-bank tersebut beroperasi dengan reserve ratio yang kurang dari 100% maka bank-bank tersebut mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan operasi semacam ini menjadi sangat popular. Uang kertas yang kita kenal sampai sekarang tumbuh dan berkembang dari praktek fractional reserve banking ini, dan praktek demikian juga terus dilakukan oleh sistem perbankan modern di Indonesia dan negara-negara lain sampai sekarang – hanya sekarang cadangan tersebut pada umumnya tidak lagi berupa emas.

Dari perjalanan uang kertas kita dapat melihat bahwa sejak abad 18, abad 19 dan awal abad ke 20 Negara-negara Eropa dan Amerika mengalami kebingungan mengenai sistem mata uangnya yang penuh dengan catatan kegagalan. Mereka bolak-balik antara uang fiat murni atau fractional reserve dan gold standard. Apabila kekayaan atau cadangan emas mereka berkurang karena perang misalnya mereka gunakan uang fiat atau fractional reserve, kemudian kembali lagi ke gold standard pada saat uang fiat atau fractional reserve sudah berlebihan sehingga terjadi hiper inflasi. Kita bisa lihat misalnya pada Perang Dunia I, Negara-negara yang terlibat perang menghabiskan cadangan emasnya untuk membeli persenjataan dan membiayai perang, kemudian beberapa tahun selepas Perang Dunia I Jerman kembali ke gold standard pada tahun 1924, yang kemudian diikuti Inggris tahun 1925 dan Perancis 1926. Namun gold standard ini tidak bertahan lama karena godaan ekonomi membuat dunia perbankan mulai tergoda lagi untuk mengeluarkan uang lebih dari cadangan emas yang mereka miliki. Hal ini menyebabkan krisis berikutnya dan mencapai puncak krisis yang disebut great depression selama beberapa tahun di awal tahun 1930-an. Begitu buruknya ekonomi saat itu sehingga pada tahun 1934 Amerika Serikat yang saat itu seharusnya menjadi kekuatan ekonomi terkuat didunia, melakukan devaluasi mata uangnya sebesar 75 % terhadap emas dari US$ 20 per troy ounce emas menjadi US$ 35 per troy ounce.

Kekacauan mata uang terus berlanjut bersamaan dengan terjadinya Perang Dunia ke II. Pada pertengahan tahun 1944 ketika Amerika merasa telah memenangi sebagian besar Perang Dunia II, mereka memprakarsai konferensi Bretton Woods. Bisa diduga hasil kesepakatan Bretton Woods ini tentu sangat menguntungkan Amerika Serikat yang menggagasnya.

Inti kesepakatan Bretton Woods awalnya adalah janji Amerika Serikat untuk mendukung uang Dollar-nya secara penuh dengan emas yang nilainya setara. Kesetaraan ini mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1 troy ons emas. Negara-negara lain yang mengikuti kesepakatan tersebut awalnya diijinkan untuk menyetarakan uangnya terhadap emas ataupun terhadap Dollar. Dengan kesepakatan ini seharusnya siapapun yang memegang Dollar dengan mudah menukarnya dengan emas yang setara .

Namun kesepakatan Bretton Woods yang digagas oleh Amerika ternyata juga diingkari sendiri oleh Amerika. Secara perlahan tetapi pasti mereka ternyata mengeluarkan uang yang melebihi kemampuan cadangan emasnya, bahkan secara sepihak mereka tidak lagi mengijinkan mata uang lain disetarakan terhadap emas atau harus dengan Dollar. Pemegang Dollar juga tidak bisa serta merta menukarnya dengan emas yang setara, tentu hal ini karena Amerika Serikat memang tidak memiliki jumlah cadangan emas yang seharusnya dimiliki setara dengan jumlah uang yang dikeluarkan – saat itu Amerika hanya memiliki 22% dari jumlah cadangan emas yang harusnya mereka miliki ! . Ketidakadilan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu dari Generale De Gaulle dari Perancis. Pada tahun 1968 Degaulle menyebut kesewenang-wenangan Amerika sebagai mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege).

Tekanan dan ketidak percayaan terus berlanjut dan Negara-negara sekutu Amerika Serikat terus menukar Dollarnya dengan emas. Praktis saat itu hanya Jerman yang tetap mendukung Dollar dan tidak menukar dollarnya dengan emas.

Awal kehancuran Dollar Amerika terjadi pada tahun 1971 ketika secara sepihak Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi mengaitkan Dollar-nya dengan cadangan emas yang mereka miliki – karena memang mereka tidak mampu lagi !. Kejadian yang disebut Nixon Shock tanggal 15 Agustus 1971 ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu sebenarnya Dollar Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang. Berdasarkan kesepakatan Bretton Woods seharusnya US$ 35 setara dengan 1 troy ons emas, akhir tahun 2006 atau 35 tahun kemudian perlu US$ 633 untuk mendapatkan 1 troy ons emas. Artinya Dollar Amerika saat buku ini ditulis hanya bernilai 5.5 % dari nilai yang seharusnya apabila Amerika Serikat memenuhi janjinya dalam kesepakatan Bretton Woods. Karena Negara-negara lain termasuk Indonesia menjadikan Dollar sebagai referensi untuk menilai keberhasialan ekonominya seperti mengukur pendapatan per kapita, cadangan devisa dan mengukur nilai tukar uang Rupiahnya – maka tanpa disadari seluruh sistem mata uang kertas sebenarnya telah ikut collapse bersama dengan collapse-nya nilai Dollar tersebut. Dengan kegagalan Bretton Woods tersebut seharusnya badan-badan pelaksana konsep ini yaitu IMF dan Bank Dunia juga harus ditutup karena mereka telah gagal menjalankan fungsinya.

Ironisnya bukan ini yang terjadi, kurang lebih empat bulan setelah terang-terangan Amerika mengingkari janjinya di Bretton Woods, tepatnya tanggal 18 Desember 1971 mereka melahirkan apa yang disebut Smithsonian Agreement. Perjanjian yang diteken di Smitsonian Institute bersama negara negara industri yang disebut G 10 ini lah yang menandai berakhirnya era fixed exchange rate dengan back up emas menjadi rejim floating exchange rate yang diikuti oleh seluruh negara anggota IMF termasuk Indonesia sampai sekarang.

Sejak tahun 1971 tersebut praktis seluruh otoritas moneter dunia menggunakan kembali uang fiat murni yaitu uang yang tidak didukung oleh adanya cadangan emas. Uang fiat (dari bahasa latin yang artinya let it be done !) adalah uang yang dibuat dari barang yang tidak senilai dengan uang tersebut, bisa berupa kertas, catatan pembukuan semata (accounting entry) di bank, atau bahkan hanya bit binari dalam memori computer. Karena asalnya tidak bernilai, kemudian dipaksakan harus diakui nilainya – maka uang fiat ini nilai dan keabsahannya ditentukan oleh pihak yang berwenang dalam suatu negara – oleh karenanya juga menjadi pembayaran yang syah (legal tender) dalam perdagangan, pembayaran hutang dlsb.

Krisis di Amerika yang melahirkan Nixon Shock tahun 1971 ternyata juga langsung berdampak ke ekonomi Indonesia. Indonesia menjadi target Amerika Serikat untuk melanggengkan kekuasaan di Asia Tenggara sekaligus mengeruk keuntungan ekonomi dari Negara-negara di kawasan ini – dan lagi untuk menutupi krisis ekonomi di dalam negeri Amerika sendiri sebagai dampak dari perang Vietnam yang tidak menentu hasilnya. Hal ini dapat disimak dari pengakuan seorang Economic Hit Man John Perkins yang kemudian memutuskan untuk menulis buku Confession of an Economic Hit Man . Dibuku tersebut John Perkins mengakui misinya di Indonesia sbb:

“Washington mendasari bagian dari strateginya pada asumsi bahwa keuntungan yang diperoleh di Indonesia mungkin mempunyai reaksi positif bagi seluruh dunia Islam, terutama di Timur Tengah yang mudah meledak. Dan jika itu bukan perangsang yang cukup, Indonesia memiliki minyak.”

Perjalanan Uang Emas dan Perak

Uang dalam berbagai bentuknya sebagai alat tukar perdagangan telah dikenal ribuan tahun yang lalu seperti dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM – 2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak terhadap emas. Standar Julius Caesar ini berlaku di belahan dunia Eropa selama sekitar 1250 tahun yaitu sampai tahun 1204.

Di belahan dunia lainnya di Dunia Islam, uang emas dan perak yang dikenal dengan Dinar dan Dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan muamalah maupun ibadah seperti zakat dan diyat sampai berakhirnya Kekhalifahan Usmaniah Turki tahun 1924. Standarisasi berat uang Dinar dan Dirham mengikuti Hadits Rasulullah SAW, ”Timbangan adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Abu Daud). Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi bersamaan dengan pencetakan uang Dirham pertama di Kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 Dinar sama dengan berat 10 Dirham. Berat 1 Dinar ini sama dengan 1 mitsqal atau kurang lebih setara dengan berat 72 butir gandum ukuran sedang yang dipotong kedua ujungnya . Dari Dinar-Dinar yang tersimpan di musium setelah ditimbang dengan timbangan yang akurat maka di ketahui bahwa timbangan berat uang 1 Dinar Islam yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah 4.25 gram, berat ini sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut Solidos dan mata uang Yunani yang disebut Drachma. Atas dasar rumusan hubungan berat antara Dinar dan Dirham dan hasil penimbangan Dinar di musium ini, maka dapat pula dihitung berat 1 Dirham adalah 7/10 x 4.25 gram atau sama dengan 2.975 gram .

Sampai pertengahan abad ke 13 baik di negeri Islam maupun di negeri non Islam sejarah menunjukan bahwa mata uang emas yang relatif standar tersebut secara luas digunakan. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal perkembangannya-pun kaum muslimin banyak melakukan perjalanan perdagangan ke negeri yang jauh. Keaneka ragaman mata uang di Eropa kemudian dimulai ketika Republik Florence di Italy pada tahun 1252 mencetak uangnya sendiri yang disebut emas Florin, kemudian diikuti oleh Republik Venesia dengan uangnya yang disebut Ducat.

Pada akhir abad ke 13 tersebut Islam mulai merambah Eropa dengan berdirinya kekalifahan Usmaniyah dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasan Kekhalifahan Usmaniyah. Selama tujuh abad dari abad ke 13 sampai awal abad 20, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang paling luas digunakan. Penggunaan Dinar dan Dirham meliputi seluruh wilayah kekuasaan Usmaniyah yang meliputi tiga benua yaitu Eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian utara dan sebagian Asia. Pada puncak kejayaannya kekuasaan Usmaniyah pada abad 16 dan 17 membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat (pada tahun 1553 mencapai pantai Atlantik di Afrika Utara ) sampai sebagian kepulauan nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia dan Ukraine dibagian utara sampai Sudan dan Yemen di bagian selatan. Apabila ditambah dengan masa kejayaan Islam sebelumnya yaitu mulai dari awal kenabian Rasululullah SAW (610) maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang dipakai paling lama (14 abad) dalam sejarah manusia.

Selain emas dan perak, baik di negeri Islam maupun non Islam juga dikenal uang logam yang dibuat dari tembaga atau perunggu. Dalam fiqih Islam, uang emas dan perak dikenal sebagai alat tukar yang hakiki (thaman haqiqi atau thaman khalqi) sedangkan uang dari tembaga atau perunggu dikenal sebagai fulus dan menjadi alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi. Dari sisi sifatnya yang tidak memiliki nilai intrinsik sebesar nilai tukarnya, fulus ini lebih dekat kepada sifat uang kertas yang kita kenal sampai sekarang .